tugas Ke 4 bahasa indonesia 2
tugas Ke 4 bahasa indonesia 2
Radio adalah media yang mencotohkan berbahasa yang baik
Radio merupakan media penyiaran yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan harga yang murah dan kemudahan dalam menggunakannya, radio mampu menjangkau seluruh masyarakat. Mulai dari tempat yang memiliki kemampuan terbatas dalam menikmati hiburan seperti pos kamling, warung pinggir jalan dan kucingan, radio juga menjangkau tempat-tempat mewah seperti restaurant, cafe, distro, supermarket dan kantor yang megah.
Tapi akhir-akhir ini saya khawatir dengan perkembangan radio. Bukan karena jumlah pendengar radio atau lagu yang diputar untuk pendengarnya, tetapi penggunaan “bahasa” yang digunakan oleh sang penyiar. Semua radio di seluruh Indonesia sekarang ini sering menggunakan gaya yang “persis” dengan radio di Jakarta, seperti penggunaan logat dan bahasa loe - gue.
Ntah kenapa semua radio saat ini lebih suka menggunakan logat Jakarta, logat yang mereka jadikan standar supaya terkesan keren. Bahkan ada beberapa radio lokal yang memaksa siaran dengan logat Jakarta, contohnya penyiar dengan logat asli ‘medhok’ (Untuk orang Jawa) berbicara menggunakan “loe” dan “gue”, sehingga terdengar aneh di telinga. Sebenarnya apakah menggunakan bahasa Indonesia yang baik tidak bisa? Hingga memaksa harus bersiaran dengan logat Jakarta.
Dari sini pemilik media seakan dibutakan oleh tuntutan pasar dan mengejar pendengar tanpa memperdulikan bangsanya. Bahasa Indonesia yang sudah diperjuangkan sejak jaman kemerdekaan untuk bahasa persatuan dan sarat nilai sejarah dipinggirkan begitu saja, mereka seakan diam dan membiarkan logat ibu kota itu meraja lela, bahkan semakin diracuni lagi oleh gaya bahasa Alay, seperti merubah pengucapan suatu kata dengan makna yang sama, contoh kata “Semangat” diganti dengan kata “Cemungudth” dengan pengucapan sesuai ejaan.
Seharusnya media seperti radio memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Memang setiap radio ada segment hiburan, waktu senggang, atau komedi yang disajikan, tetapi hendaknya radio juga memiliki “filter” untuk mengatasi hal tersebut. Jadi tidak setiap menit, setiap waktu dan setiap acara penyiarnya menggunakan logat Jakarta seperti elu, gue, nyokap, bokap dan yang lainnya. Terkesan seperti tidak memiliki kreatifitas saja untuk menarik banyak pendengar. Ingat, radio adalah media yang paling dekat dengan masyarakat. Apa lagi “penyiar radio”, ia adalah sosok yang paling akrab dengan pendengar sehingga gaya bahasa yang digunakan secara tidak sadar akan mempengaruhi pola pikir pendengarnya dan menganggap bahwa hal yang diucapkan oleh penyiar adalah sesuatu yang “patut ditiru” .
Bila hal ini terus terjadi dan media tak mampu memberikan filter atau tidak adanya lembaga yang memantau dan tidak ada kesadaran dari semua pihak maka yang terjadi adalah bahasa Indonesia akan semakin tidak jelas nasibnya dan bahkan yang lebih parah lagi bahasa Indonesia bisa punah ! Kalau masyarakatnya saja tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, nanti kita disebut bangsa apa? Bangsa Indonesia? Sebuah bangsa yang tidak bisa menggunakan bahasanya sendiri? Tentu kita tidak ingin semua hal itu terjadi.
Dan apakah ada solusinya? Tentu saja ada ! Dalam hal ini pemilik media radio memiliki peran penting, yaitu dengan memberikan filter pada program siarannya seperti memberikan batasan penggunaan logat Jakarta, contohnya seperti saat siaran pagi hingga siang hari menggunakan siaran berbahasa Indonesia, sore hingga malam hari menggunakan siaran berbahasa Indonesia dengan sedikit logat Jakarta.
Dalam kasus ini penulis tidak bermaksud untuk menanamkan sikap anti logat Jakarta, tapi ingin memberikan semangat bahwa kita harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa Indonesia adalah identitas kita sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia. Tentu kita tidak mau dong disebut sebuah bangsa yang tidak bisa menggunakan bahasanya sendiri? Ayo, cintai dan gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar !